Minggu, 06 April 2014

Resensi Novel Alkemis



Di Mana Hatimu Berada, Di Situlah Hartamu Berada

Judul Novel : Sang Alkemis
Penulis : Paulo Coelho
Penerbit : Pustaka Alvabet Anggota IKAPI, Jakarta, Cetekan 7, Juni 2005
Tebal : 193 Halaman
Harga : Rp30.000,00


Datangnya suatu pemberian ilham untuk mengikuti mimpi-mimpi diri sendiri dengan memandang dunia melalui mata diri sendiri, dan bukan mata orang lain. Sebuah cerita yang disajikan dengan kelugasan dan kesederhanaan yang memuat kisah yang kuat dan memancarkan keagungan yang dapat melandasi kearifan mengikuti hati seseorang. Tampaknya, inilah plot yang dipilih Paulo Coelho untuk novelnya yang berjudul Sang Alkemis.
Novel ini bercerita dengan memukau tentang Santiago, bocah gembala Andalusia yang tidak bersekolah karena kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai petani. Dan kedua orang tuanya menginginkan Santiago kelak besar nanti untuk menjadi seorang pastur. Tetapi keinginan Santiago berlawanan dengan keinginan kedua orang tuanya, Santiago hanya berkeinginan untuk mengembara mencari harta duniawinya. Dari kampong halamannya di Spanyol, ia ke Tangier dan menyebrangi gurun Mesir.
Setting inilah, menurut Romerikes Blad ( Norwegia ) dalam pujian internasional untuk Sang Alkemis, yang kemudian menjadi unsure pokok penciptaan suasana, yang diilhami oleh dongeng-dongeng tradisional, dinafasi oleh kitab-kitab suci dan legenda-legenda. Bahkan tidak sungkan Romerikes Blad (Norwegia) menilai karya Paulo Coelho sebagai salah satu dari segelintir karya yang berhak menyandang gelar fenomena penerbitan.(hlm.ii)
Novel ini dimulai dengan pemaparan yang menarik mengenai bocah yang bernama Santiago dengan kawan-kawan ternaknya bermala di sebuah gereja yang terbengkalai dan pohon sikamor yang sangat besar tumbuh di titik tempat sakristis pernah berdiri. Ketka ia sedang tidur Santiago bermimpi yang sama seperti minggu lalu, dan sekali lagi ia terbangun sebelum mimpinya selesai. Lalu Santiago bangun dan mengambil tongkat untuk membangunkan domba-dombanya yang masih tidur. Santiago segera memperhatikan hewan-hewannya yang sudah mulai ribut. Sepertinya ada energi misterius yang menghubungkan hidupnya dengan domba-domba, yang telah bersamanya selama dua tahun, mengembalakan mereka menyusuri pedesaan guna mencari makan dan air. “Mereka sudah begitu terbiasa denganku hingga tahu jadwalku,” gumam si bocah. Memikirkan hal tersebut ia sadar beleh jadi sebaliknya : dialah yang menjadi terbiasa dengan jadwal dombanya.(hlm.6).
Ketika beberapa hari kemudian dia selalu berbicara kepada dombanya hanya satu gadis yaitu, putri pedagang kain. Paras gadis itu khas Andalusia, dengan rambut hitam bergelombang dan mata yang secara samara-samar mengingatkannya pada para penakluk bangsa Moor. Baru kali ini Santiago ingin menetap di suatu daerah.
Santiago berfikir bila suatu hari nanti dia menjadi monster, dan memutuskan untuk membunuh dombanya, satu-persatu. Ia pun terkejut dengan pemikirannya. Dia berfikir mungkin karena gereja itu, dengan pohon sikamor yang tumbuh di dalamnya, ada hantunya. Itulah yang menyebabkan ia bermimpi yang sama dua kali, dan menyebabkan dia merasa geram terhadap kawan-kawan setianya.
Lalu, pada waktu seketika Santiago berfikir untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan membuat hidup menarik. Lalu ia menemui seorang permpuan di Tarifa, yaitu seorang peramal. Peramal itu berkata, ”dan ini tafsirannya: kamu harus pergi ke Piramida di Mesir. Aku belum pernah mendengar tentangnya, tapi, bila seorang anak menunjukannya padamu, artinya tempat itu benar-benar ada. Di sana akan kau temukan harta yang akan membuatmu kaya.”(hlm 18).
Lalu Santiago melanjutkan perjalanannya untuk menuju ke Piramida di Mesir. Tetapi ketika sedang di perjalanan Santiago bertemu dengan orang tua yaitu seorang raja dari Salem. Raja itu mengetahui maksud perjalanan Santiago, yaitu mencari legenda pribadinya. Raja itu akan memberi tahu bahwa harus pergi ke arah mana agar Santiago sampai di Mesir, tetapi Raja itu meminta imbalan dengan memberinya sepersepuluh dari domba yang dimiliki oleh Santiago. Di tengah alun-alun dengan angin yang mulai kencang. Dia tahu angin apa itu: orang menamakannya levanter, karena pada saat itulah bangsa Moor datang dari kota Levant di ujung timur Mediteranea. ”di sinilah aku, antara kawanan dombaku dan hartaku.” Pikir si bocah. Pada esok harinya Santiago bertemu lagi dengan Raja tua itu. ”Dimana harta karun itu?” tanya Santiago. ”Di Mesir dekat Piramida.” jawab si Raja. Lalu raja itu memberikan dua buah batu yang tertancap di tengah-tengah penuup dadanya, yang diberi nama Urim dan Thummim.
Setelah sampai di Afrika ketika di sebuah kedai dia bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang tidak lain adalah seorang pencuri, dan akhirnya uang yang dimiliki oleh Santiago di ambilnya pergi. Santiago harus pergi ke Gurun Sahara tanpa mempunyai uang sepeser pun, untuk meraih legenda pribadinya. Lalu setelah si bocah berjalan, si bocah menemukan sebuah toko kristal dan akhirnya si bocah bekerja di toko kristal tersebut.
Pedagang itu memahami perkataan si bocah. Kehadiran si bocah di toko kristal itu merupakan suatu pertanda dan seiring berjalannya waktu dan mengalirnya uang ke laci, dia tidak pernah menyesal telah mempekerjakan si bocah. Dia mendapat bayaran lebih dari semestinya, karena pedagang itu menduga penjualan tidak akan tinggi, dan sebab itu ia menawari si bocah persentase komisi yang besar. Dia mengira si bocah akan segera kembali ke domba-dombanya.”mengapa kamu ingin pergi ke Piramida?” tanya si pedagang kristal itu. ”Karena aku selalu mendengar tentang Piramida.” jawab si bcah, tanpa sedikit pun menyebut mimpinya. Harta karun itu sekarang bukanlah apa-apa selain ingatan yang menyakitkan, dan dia berusaha menghindar dari memikirkan hal itu. ”Aku tidak pernah mendengar ada orang di sini yang mau mengarungi gurun hanya untuk melihat Piramida,” kata si pedagang. ”piramida-piramida itu hanya tumpukan batu. Kamu dapat membuatnya di halaman rumahmu.”si pedagang berkata lagi. ”Bapak tidak pernah bermimpi berkelana.” kata si bocah. ”Bapak hanya ingin menjalankan kewajiban ke lima sebagai seorang muslim, yaitu pergi menunaikan ibadah haji.” jawab si pedagang.(hlm 62).
Setelah beberapa bulan si bocah bekerja di toko kristal itu, lalu si bocah meneruskan perjalannannya untuk pergi ke Piramida. Lalu si bocah bertemu dengan lelaki inggris yang sedang duduk di sebuah bangku panjang di suatu bangunan yang berbau binatang, keringat dan debu. Bangunan ini separuh gudang, separuh kandang. Lalu si bocah bercakap-cakap dengan lelaki inggri itu, ternyata lelaki inggris itu sedang mecari seorang alkemis yang tertulis di suatu buku, alkemis itu termansyur di Arab yang mengunjungi Eropa. Dikatakan bahwa umurnya lebih dari duaratu tahun, dan bahwa dia telah menemukan batu Filsuf dan Obat Hidup. Lelaki inggris itu terkesan dengan kisah tadi. Tapi dia tidak pernah mengira bahwa cerita itu bukan sekedar dongeng, bila seorang temanya-sekembali dari ekspedisi arkeologi di gurun-tidak memberi tahu dia tentang seorang Arab yang memiliki kekuatan-kekuatan yang menakjubkan. ”Dia tinggal di oasis Al-Fayoum,” tutur temanya itu.”Dan orang-orang bialng umurnya dua ratus tahun, dan bisa mengubah logam apapun menjadi emas.”(hlm 77).
Lalu si bocah dan laki-laki itu pergi melewati gurun untuk pergi ke oasis bersama rombongan Kafilah. Gurun adalah hamparan pasir di beberapa tempat, dan bebatuan di tempat lainnya. Jika karavan terhalang oleh bebatuan besar, ia harus mengitarinya; bila ada daerah bebatuan yang sangat luas, mereka harus mengitari putaran besar. Kalau pasir terlalu lunak bagi kuku-kuku hewan, mereka mencari jalan yang tanahnya lebih keras.
Di saat lain, muncul orang-orang misterius yang berkerudung; mereka adalah orang-orang Badui yang mengawasi jalannya rute karavan. Mereka memberi peringatan tentang para perampok dan suku-suku buas. Suatu malam, suatu penunggang onta mendatangi unggun orang inggris dan si bocah duduk.”Ada isu tentang perang suku,” ungkapnya kepada mereka. Ketiganya terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa takut di udara, meski tak seorangpun yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi ia merasakan bahasa tanpa kata-kata...bahasa universal.
”Sekali kamu masuk ke dalam gurun, tak ada jalan untuk kembali,” ujar penunggang onta itu. ”Dan, bila kau tak dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah jalan terbaik untuk bergerak ke depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk bahaya.”Dan dia menyimpulkan dengan mengucap kata misterius itu: ”Maktub.”(hlm 89).
Di oasis si bocah bertemu dengan seorang gadis yang bernama Fatimah, seorang gadis yang memikat hati si bocah. Si bocah telah melupakan untuk meraih legenda pribadinya karena ia sudah memiliki satu ekor unta, uang hasil bekerja di toko kristal, lima puluh keping emas dan ia sudah memiliki Fatimah. Di negrinya ia akan jadi orang kaya. Tetapi kata Sang Alkemis semua yang kau punya sekarang bukan berasal dari Piramida. Alkemis itu akan mengantarkan si bocah untuk meraih legenda pribadinya. Dan mereka memulai perjalannya untuk pergi ke Piramida meski sedang terjadi perang suku di gurun tersebut.
Di hari ke tujuh perjalananny, sang alkemis memuruskan membuat tenda lebih awal dari biasanya. Elangnya terbang mencari buruan, dan alkemis menyodorkan tempat minumnya pada si bocah. ”Kau hampir tiba di perjalananmu,” kata sang alkemis. ”kuucapkan selamat padamu untuk pencarian Legenda Pribadimu.”
”Hanya ada satu cara untuk belajar,”jawab sang alkemis. ”Melalui tindakan. Semua yang perlu kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya perlu mempelajari satu hal lagi.”ujar sang alkemis itu. Si bocah ingin mengetahui itu apa itu, tapi sang alkemis memandang ke cakrawala, mencari elangnya. ”Mengapa kamu disebut sang alkemis?” Tanya si bocah. ”karena memang itulah aku,” Uajar sang alkemis.
”Dan apa yang salah ketika alkemis-alkemis lain mencoba membuat emas dan tak berhasil melakukannya?”
”Mereka hanya mencari emas,” jawab teman perjalananya. ”Mereka mencari harta dalam Legenda Pribadinya, tanpa benar-benar menginginkan menjalankan Legenda Pribadinya itu.”
”Apa yang masih perlu aku ketahui?” tanya si bocah.tetapi sang alkemis kembali menatap cakrawala.(hlm 145).
"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu.
"Karena, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada."(hlm 148).
***
Bagaimana ending-nya ? akhirnya si bocah tersebut menemukan letak dimana beradanya Legenda pribadinya. Tetapi setelah ia menggali di mana hartanya berada, si bocah mendengar suara kaki. Beberapa orang mendekatinya. Mereka menyuruh si bocah untuk terus menggali, tetapi tidak menemukan apa-apa. Ketika matahari terbit, orang-orang itu menghajar si bocah dan mengambil harta yang dimiliki sibocah.dan akhirnya si bocah mengetahui di mana hartanya berada.
Si bocah akhirnya mengetahui di mana hatinya berada yaitu, dengan kembali lagi ke gereja kecil dan terbengkalai dengan pohon sikamor yang masih tegak di sakritis. Setelah pagi-pagi ia menggali di dasar pohon sikamor dan setelah setengah jam kemudian, sekopnya membentur sesuatu yang keras. Satu jam kemudian, di hadapannya tampak seperti coin emas Spanyol. Juga ada batu-batu berharga, topeng-topeng emas yang dihiasi bulu-bulu merah dan putih, dan patung-patung batu bertatahkan permata. Perjalanan itu pulalah yang membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.

Membaca novel ini seperti menjelajahi suatu petualangan yang penuh keajaiban dan kearifan mengikuti hati seseorang. Novel ini memuat pesona komis, ketegangan dramatis, dan intensitas psikologis sebuah novel. Serta cerita ini disjikan dengan kelugasan dan kesadaran yang mengangkat pembacanya keluar dari waktu dan memusatkan perhatian pada kisah ajaib tentang seorang pemimpin yang mencari dirinya. Sebuah novel dengan pesan yang jelas bagi setiap pembacanya.
Novel ini tampaknya lebih mengedepankan untuk meraih impian. Itu sebabnya banyak kejadian atau konflik yang yang seharusnya dicantumkan lebih detail dan menarik, tetapi hanya ditampilkan secara singkat tanpa kurang dipahami oleh setiap pembacanya

0 komentar:

Posting Komentar